Search This Blog

16 December 2016

Pengalihan ISU atau Pengalihan ASU??

Penggagalan Percobaan pengeboman melalui Bom Bunuh Diri "Pengantin" oleh Densus 88 yang sedianya akan diledakkan di Istana Negara dianggap merupakan pengalihan isu Sidang Penistaan Agama dengan tersangka Ahok. Aku gak habis pikir. Nyawa yang menjadi taruhannya apabila bom jadi meledak di Istana Negara dan menewaskan nyawa-nyawa yang tidak berdosa. Mau dibilang itu Jihad membunuh musuh Allah. Musuh Allah yang mana cuk? Kamu sudah dikasih list musuh-musuh Allah? Emang kalau Bomnya jadi meledak terus yang mati musuh Allah semua? La kalau ada sodara seimanmu yang meregang nyawa akibat "Jihadmu" mereka juga otomatis musuh Allah? Apa Bomnya pinter gitu? Nyari orang yang auto detect musuh Allah? Jancuk lah.

Mbok yo mikir, kalean mau bunuh diri yang katanya "Jihad" itu berefek pada orang lain. Kalau cuma kalean sendiri yang kena gak papa. Ngrakit sendiri, ngebom sendiri lalu tewas sendiri. Sudah gitu di Surga indehoi dengan 72 Bidadadi. Eh, kemarin kan cewek ya yg mau "Jihad". Sama siapa ya. Gak ngerti kalau yg cewek ama siapa. Apa sama kalajengking.

Padahal, kalau mau jujur. Pengalihan isu yang nyata adalah dilema Akhir Tahun bagi sebagian besar Pelaku Jasa Perbankan. Sudah gitu tanggal 25 Desember dan Tahun Baru akan menjadi ajang kuat-kuatan Dalil antara mengucapkan Selamat Natal, Tahun Baru dan Haram Mengucapkannya.

Sudah gitu, diikutin pula oleh para elit penguasa Perbankan (Stake Holder, red) yang harus terus mengingatkan agar Proses Rutin Akhir Tahun tidak terganggu oleh Tanggal 25 Desember atau 1 Januari.

Mbok yo Para Elite itu dan para Pejabat BI dan OJK fokus aja pada penyelesaian Sidang Penistaan Ahok. Dan kalau bisa tanggal 25 Desember sampai 1 Januari dilewatin aja di kalender tahunan. Biar gak usah ribet ribet ngrungokke wong keminter. Tiba-tiba tanggal 10 januari gitu lo. Jadi sebentar lagi langsung gajian.
(Keluhan Subroto, antek Perbankan yang sedang Pusing)

08 December 2016

YANG MENANG HARUS BANGSA INDONESIA


Muhammad Ainun Nadjib
(Tulisan ke-1 dari 10)
Beberapa bulan terakhir ini bangsa Indonesia seperti sedang suntuk bermain togel: 411, 1911, 212, 412, 1012 dan mungkin akan berlanjut ke situasi yang bukan dramatisasi harmoni angka-angka, malah mungkin benturan antara angka dengan angka.
Mungkin bangsa Indonesia sedang mencari dirinya sendiri. Sedang melacak kembali siapa sebenarnya mereka, dari berbagai view nilai, konteks, titik berat, gravitasi eksistensi dan pemetaan sejarah, cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, bahkan resolusi pandang. Masing-masing kelompok merasa apa yang dilakukannya adalah kebenaran. Masing-masing golongan meyakini bahwa merekalah gravitasi nasionalisme Indonesia, wajah merekalah yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Dan sesama massa yang meneriakkan “NKRI harga mati” akan bertabrakan. Yang memekikkan “Allahu Akbar” mengepalkan tinju ke massa di seberang yang juga memekikkan “Allahu Akbar”.
Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya.
Sedangkan Panglima Drestajumena masih sibuk menoleh ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang, merasakan ke mana angin bertiup. Adapun para Punakawan, Semar Gareng Petruk Bagong duduk bersila bercengkerama di gelaran tikar awan di angkasa, bersama Wisanggeni (Wasi’un Ghoniyyun) yang dilarang ikut perang. Terkadang Ontoseno juga muncul dari bawah tanah ikut nimbrung. Terkadang mereka menangis bersama, gero-gero menangisi “Ibu Pertiwi sudah tidak berkenan mengayomi lagi”. Di saat lain mereka tertawa terpingkal-pingkal: “Pemerintah kok merasa Negara. Pedang kok dipakai mencangkul. Keris kok dilecehkan….”. Negara tanpa kaji (presisi), Bangsa kehilangan aji (harga diri), Satria sirna nyali (keberanian revolusi).
Mudah-mudahan tidak terlalu jauh simbolisme dalam tulisan ini. Saya yakin semua memiliki daya assosiasi, proyeksi dan identifikasi dari perumpamaan-perumpamaan ini ke peta fakta kenegaraan dan kebangsaan yang sedang sangat nyata mengepung kita.
411, 1911, 212, 412, 1012 dan berikut-berikutnya adalah saling-silang atau silang sengkarut bias dan dispresisi. Di arena yang sangat gaduh itu terdengar suara-suara berseliweran tantang menantang, kutuk mengutuk yang disamarkan, serta kebencian dan permusuhan yang dieufemisasikan.
Kata-kata kebenaran dan kepahlawanan diteriakkan oleh semua dan masing-masing. Semua berkata sama, tetapi produknya bukan “benere bebarengan” (benarnya bareng-bareng, benarnya semua orang, kebenaran kolektif koordinatif), melainkan “benere dhewe” (benarnya sendiri-sendiri
), sehingga semua pihak terdesak mundur ke belakang, menjauh dari “bener sing sejati” (benar yang sejati): misalnya “yang menang harus Bangsa Indonesia”.
Ada yang sangat meyakini “benar atau salah” dan “baik atau buruk” tanpa sadar bahwa langkahnya adalah “kalah atau menang”. Yang sadar bahwa gerakannya adalah “kalah atau menang”, tidak lengkap juga pemahamannya pada momentum-moment
um dan konteks mikro atau makronya: tidak punya presisai apakah ia sedang menang atau kalah, sedang mulia ataukah hina, seharusnya malu ataukah bangga, semestinya rendah hati ataukah jumawa. Masing-masing nggembol potensi dan kadar “mbegugug ngutowaton”( pokoknya saya yang pasti benar) serta “adigang adigung adiguna” (menerjang, menaklukkan, menguasai).
Secara sederhana bangsa Indonesia, sebagai warganegara, sebagai rakyat maupun sebagai manusia, sedang diaduk-aduk oleh lipatan-lipatan masalah, krusialitas dan khaos nilai, tikungan dan telikungan pemaknaan atas segala sesuatu yang berlangsung. Tidak mengerti beda antara hemat dengan pelit. Antara konsisten dengan tidak move-on. Antara istiqamah dengan kepala batu. Antara kebenaran Quran dengan relativitas tafsirnya. Antara ramah tamah dengan taktik penipuan. Antara sopan santun dengan penjebakan. Antara blusukan dengan penaklukan. Antara Malaikat dengan Iblis. Karena Malaikat tidak punya keperluan untuk menyamar jadi Iblis. Sedangkan Iblis sangat tekun mempelajari teknik perilaku, strategi komunikasi, hingga performa dan pencitraan, yang tujuannya membuat manusia menyangka ia adalah Malaikat.
Bahkan para pemimpin ketika berkata dan berbuat, tidak recheck apakah yang diekspresikannya itu nasionalisme Indonesia, ataukah garis tugas korpsnya, kepentingan golongannya, kenyamanan jalan kariernya, ataukah nafsu pribadinya. Yang paling bencana adalah kalau ada pemimpin yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”, karena ia hanya digerakkan oleh Siluman yang sangat mengerti, dan mengerti bahwa mereka mengerti. Padahal harapan rakyat minimal ada pemimpin yang “tidak mengerti tapi mengerti bahwa ia tidak mengerti”. Atau mending “yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti”. Syukur yang “mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti”.

Di poskan di FB oleh : Merchandise Maiyah