Search This Blog

17 August 2016

Dirgahayu RI yang ke 71

Memperingati Hari Kemerdekaan Negara Indonesia yang ke 71 tahun, saya akan memberikan sumbangsih beberapa putra terbaik bangsa yang berjuang untuk menegakkan Negara Indonesia yang Merdeka.

Mari kita isi kemerdekaan ini dengan baik.

Kisah ini saya dapatkan dari teman. Semoga bermanfaat.

*JANGAN LUPAKAN SEJARAH-MARI KITA BANYAK BELAJAR DARI SEJARAH*

*PARA PEJUANG ITU ADALAH SANTRI......!*

_(Nukilan patriotik)_

Santri pondok pesantren itu ampuh. Di tanah Jawa ini, yang paling ditakuti (penjajah) Belanda adalah santri dan tarekat (thariqah).

Ada seorang santri yang juga penganut thariqah, namanya Abdul Hamid. Ia lahir di Dusun Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Mondok pertama kali di Tegalsari, Jetis, Ponorogo kepada KH. Hasan Besari. (KH Hasan Besari adalah peletakdasar pendirian Pesantren Gontor).

Abdul Hamid ngaji kitab kuning kepada Kyai Taftazani Kertosuro. Ngaji Tafsir Jalalain kepada KH Baidlowi Bagelen yang dikebumikan di Glodegan, Bantul, Jogjakarta. Terakhir Abdul Hamid ngaji ilmu hikmah kepada KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.

Di daerah eks-Karesidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen), nama KH. Nur Muhammad yang masyhur ada dua, yang satu KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang dan satunya lagi KH. Nur Muhammad Alang-alang Ombo, Pituruh, yang banyak menurunkan kyai di Purworejo.

Abdul Hamid sangat berani dalam berperang melawan penjajah Belanda selama 5 tahun, 1825-1830 M.

Abdul Hamid wafat dan dikebumikan di Makassar, dekat Pantai Losari. Abdul Hamid adalah putra Sultan Hamengkubuwono ke-III.

Abdul Hamid patungnya memakai jubah dipasang di Alun-alun kota Magelang. Menjadi nama Kodam dan Universitas di Jawa Tengah. Terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro.

Belanda resah menghadapi perang Diponegoro. Dalam kurun 5 tahun itu, uang kas Hindia Belanda habis, bahkan punya banyak hutang luar negeri.

Nama aslinya Abdul Hamid. Nama populernya Diponegoro.
Adapun nama lengkapnya adalah Kyai Haji (KH) Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Pranotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong.

Maka jika Anda pergi ke Magelang dan melihat kamar Diponegoro di eks-Karesidenan Kedu, istilah sekarang di Bakorwil, ada 3 peninggalan Diponegoro: al-Quran, Tasbeh dan Taqrib (kitab Fath al-Qarib).

Kenapa Al-Quran? Diponegoro adalah seorang Muslim. Kenapa tasbih? Diponegoro seorang ahli dzikir, dan bahkan penganut thariqah.

Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan mengatakan bahwa Diponegoro seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah. Selanjutnya yang ketiga, Taqrib matan Abu Syuja’, yaitu kitab kuning yang dipakai di pesantren bermadzhab Syafi'i.

Saya sangat menghormati dan menghargai orang yang berbeda madzhab dan pendapat. Akan tetapi, tolong, sejarah sampaikan apa adanya.

Jangan ditutup-tutupi bahwa Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka 3 tinggalan Pangeran Diponegoro ini tercermin dalam pondok-pondok pesantren.

Dulu ada tokoh pendidikan nasional bernama Douwes Dekker. Siapa itu Douwes Dekker? Danudirja Setiabudi.

Mereka yang belajar sejarah, semuanya kenal. (Leluhur) Douwes Dekker itu seorang Belanda yang dikirim ke Indonesia untuk merusak bangsa kita.

Namun ketika Douwes Dekker berhubungan dengan para kyai dan santri, mindset-nya berubah, yang semula ingin merusak kita justru bergabung dengan pergerakan bangsa kita.

Bahkan kadang-kadang Douwes Dekker, semangat kebangsaannya melebihi bangsa kita sendiri.

Douwes Dekker pernah berkata dalam bukunya:
“Kalau tidak ada kyai dan pondok pesantren, maka patriotisme bangsa Indonesia sudah hancur berantakan.”

Siapa yang berbicara? Douwes Dekker, orang yang belum pernah nyantri di pondok pesantren.

Seumpanya yang berbicara saya, pasti ada yang berkomentar: "Hanya biar pondok pesantren laku."

Tapi kalau yang berbicara orang “luar”, ini temuan apa adanya, tidak dibuat-buat. Maka, kembalilah ke pesantren.

Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) itu adalah santri.
Tidak hanya Diponegoro anak bangsa yang dididik para ulama menjadi tokoh bangsa.

Di antaranya, di Jogjakarta ada seorang kyai bernama Romo Kyai Sulaiman Zainudin di Kalasan Prambanan.
Punya santri banyak, salah satunya bernama Suwardi Suryaningrat.

Suwardi Sury

aningrat ini kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional yang terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.

Jadi, Ki Hajar Dewantara itu santri, ngaji, murid seorang kyai.
Sayangnya, sejarah Ki Hajar mengaji al-Quran tidak pernah diterangkan di sekolah-sekolah, yang diterangkan hanya _Ing Ngarso Sun Tulodo_,
_Ing Madyo Mangun Karso_,
_Tut Wuri Handayani_.
Itu sudah baik, namun belum komplit. Belum utuh.

Maka nantinya, untuk rekan-rekan guru, mohon diterangkan bahwa Ki Hajar Dewantara selain punya ajaran Tut Wuri Handayani, juga punya ajaran al-Quran al-Karim.

Sayyid Husein al-Mutahhar adalah cucu nabi yang patriotis.
Malah-malah, ketika Indonesia merdeka, ada sayyid warga Kauman Semarang yang mengajak bangsa kita untuk bersyukur.

Sang Sayyid tersebut menyusun lagu Syukur. Dalam pelajaran Sekolah Dasar disebutkan Habib Husein al-Mutahar yang menciptakan lagu Syukur.

Beliau adalah Pakdenya Habib Umar Muthahar SH Semarang. Jadi, yang menciptakan lagu Syukur yang kita semua hafal adalah seorang sayyid, cucu baginda Nabi Saw. Mari kita nyanyikan bersama-sama:

*Dari yakinku teguh*
*Hati ikhlasku penuh*
*Akan karuniaMu*
*Tanah air pusaka*
*Indonesia merdeka*
*Syukur aku sembahkan*
*Ke hadiratMu Tuhan*

Itu yang menyusun cucu Nabi, Sayyid Husein Muthahar, warga Kauman Semarang. Akhirnya oleh pemerintah waktu itu diangkat menjadi Dirjen Pemuda dan Olahraga.

Terakhir oleh pemerintah dipercaya menjadi Duta Besar di Vatikan, negara yang berpenduduk Katholik.

Di Vatikan, Habib Husein tidak larut dengan kondisi, malah justru membangun masjid. Hebat.

Malah-malah, Habib Husein Muthahar menyusun lagu yang hampir se-Indonesia hafal semua.

Suatu ketika Habib Husein Muthahar sedang duduk, lalu mendengar adzan shalat Dzuhur.

Sampai pada kalimat hayya 'alasshalâh, terngiang suara adzan. Sampai sehabis shalat berjamaah, masih juga terngiang.

Akhirnya hatinya terdorong untuk membuat lagu yang cengkoknya mirip adzan, ada “S”nya, “A”nya, “H”nya. Kemudian pena berjalan, tertulislah:

*17 Agustus tahun 45*
*Itulah hari kemerdekaan kita*
*Hari merdeka Nusa dan Bangsa*
*Hari lahirnya Bangsa Indonesia*
*Merdeka*
*Sekali merdeka tetap merdeka*
*Selama hayat masih di kandung badan*
*Kita tetap setia, tetap setia*
*Mempertahankan Indonesia*
*Kita tetap setia, tetap setia*
*Membela Negara kita*.

Maka peran para kyai dan para sayyid tidak sedikit dalam pembinaan patriotisme bangsa.

Jadi, Anda jangan ragu jika hendak mengirim anak-anaknya ke pondok pesantren.

Malahan, Bung Karno, ketika mau membaca teks proklamasi di Pegangsaan Timur Jakarta, minta didampingi putra kyai.

Tampillah putra seorang kyai, dari kampung Batuampar, Mayakumbung, Sumatera Barat. Siapa beliau?

H. Mohammad Hatta putra seorang kyai. Bung Hatta adalah putra Ustadz Kiai Haji Jamil, Guru Thariqah Naqsyabandiyyah Kholidiyyah.

Sayang, sejarah Bung Hatta adalah putra kyai dan putra penganut thariqah tidak pernah dijelaskan di sekolah, yang diterangkan hanya Bapak Koperasi.

Mulai sekarang, mari kita terangkan sejarah dengan utuh. Jangan sekali-kali memotong sejarah.

Jika Anda memotong sejarah, suatu saat, sejarah Anda akan dipotong oleh  Allah Swt.
Akhirnya, Bung Hatta menjadi Wakil Presiden pertama.

Pesan Penting Bagi Santri, Belajar dari Mbah Mahrus Aly.

Maka, jangan berkecil hati mengirim putra-putri Anda di pondok-pesantren.

Santri-santri An-Nawawi di tempat saya, saya nasehati begini:
“Kamu mondok di sini nggak usah berpikir macam-macam, yang penting ngaji dan sekolah. Tak usah berpikir besok jadi apa, yang akan menjadikan Gusti Allah."

Ketika saya dulu nyantri di Lirboyo, tak berpikir mau jadi apa, yang penting ngaji, nderes (baca al-Quran), menghafalkan nadzaman kitab dan shalat jamaah.

Ternyata saya juga jadi manusia, malahan bisa melenggang ke gedung MPR di Senayan.
Tidak usah dipikir, yang menjadikan Gusti Allah.

Tugas kita ialah melaksanakan kewajiban dari Allah Swt. Allah mewajibkan kita untuk menuntut ilmu, kita menuntut ilmu.

Jika kewajiban dari Allah sudah dilaksanakan, maka Allah yang akan menata. Jika Allah yang menata sudah pasti sip, begitu saja. Jika yang menata kita, belum tentu sip.

Perlu putra-putri kita dalam menuntut ilmu, berpisah dengan orangtua, untuk nyantri di Pondok Pesantren.

KH. Mahrus Aly Lirboyo pernah dawuh:
“Nek ngaji kok nempel wongtuo, ora temu-temuo.”
(Jika mengaji masih bersama dengan orangtua, tidak akan cepat dewasa).

Maka masukkanlah ke pesantren, biar cepat dewasa pikirannya.


Mari kita isi kemerdkaan ini
dengan aktifitas yang positive pernanyak alan ibadah

Salam santun

*Merdeka - Merdeka - Merdeka!*

🇮🇩🇮🇩🇮🇩

08 August 2016

Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial

Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial

KH. Ahmad Mustofa Bisri pernah mempopulerkan istilah saleh
ritual dan saleh sosial. Yang pertama merujuk pada ibadah yang
dilakukan dalam konteks memenuhi haqqullah dan hablum minallah
seperti shalat, puasa, haji dan ritual lainnya. Sementara itu,
istilah saleh sosial merujuk pada berbagai macam aktivitas dalam
rangka memenuhi haqul adami dan menjaga hablum minan nas.
Banyak yang saleh secara ritual, namun tidak saleh secara
sosial; begitupula sebaliknya.
Gus Mus tentu tidak bermaksud membenturkan kedua jenis
kesalehan ini, karena sesungguhnya Islam mengajarkan
keduanya. Bahkan lebih hebat lagi; dalam ritual sesungguhnya
juga ada aspek sosial. Misalnya shalat berjamaah, pembayaran
zakat, ataupun ibadah puasa, juga merangkum dimensi ritual
dan sosial sekaligus. Jadi, jelas bahwa yang terbaik itu adalah
kesalehan total, bukan salah satunya atau malah tidak dua-
duanya. Kalau tidak menjalankan keduanya, itu namanya
kesalahan, bukan kesalehan. Tapi jangan lupa, orang salah pun
masih bisa untuk menjadi orang saleh. Dan orang saleh bukan
berarti tidak punya kesalahan.
Pada saat yang sama, kita harus akui seringkali terjadi dilema
dalam memilih skala prioritas. Mana yang harus kita utamakan
antara ibadah atau amalan sosial. Pernah di Bandara seorang
kawan mengalami persoalan dengan tiketnya karena perubahan
jadual. Saya membantu prosesnya sehingga harus bolak balik
dari satu meja ke meja lainnya. Waktu maghrib hampir habis.
Kawan yang ketiga, yang dari tadi diam saja melihat kami
kerepotan, kemudian marah-marah karena kami belum
menunaikan shalat maghrib. Bahkan ia mengancam, “Saya tidak
akan mau terbang kalau saya tidak shalat dulu”.
Saya tenangkan dia, bahwa sehabis check in nanti kita masih
bisa shalat di dekat gate, akan tetapi kalau urusan check in
kawan kita ini terhambat maka kita terpaksa meninggalkan dia
di negeri asing ini dengan segala kerumitannya. Lagipula,
sebagai musafir kita diberi rukhsah untuk menjamak shalat
maghrib dan isya’ nantinya. Kita pun masih bisa shalat di atas
pesawat. Kawan tersebut tidak mau terima: baginya urusan
dengan Allah lebih utama ketimbang membantu urusan tiket
kawan yang lain. Saya harus membantu satu kawan soal
tiketnya dan pada saat yang bersamaan saya harus adu dalil
dengan kawan yang satu lagi. Tiba-tiba di depan saya dilema
antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial menjadi nyata.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi mencoba menjelaskan dilema ini dalam
bukunya Fiqh al-Awlawiyat. Beliau berpendapat kewajiban yang
berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih
diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak
individu. Beliau juga menekankan untuk prioritas terhadap
amalan yang langgeng (istiqamah) daripada amalan yang banyak
tapi terputus-putus. Lebih jauh beliau berpendapat:
“Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata
mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain
yang berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya. Ada seorang
ulama yang berkata, "Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas
toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas
aturan yang sangat ketat." Oleh sebab itu, ibadah haji
misalnya, yang hukumnya wajib, dan membayar utang yang
hukumnya juga wajib; maka yang harus didahulukan ialah
kewajiban membayar utang.” Ini artinya, untuk ulama kita ini,
dalam kondisi tertentu kita harus mendahulukan kesalehan sosial
daripada kesalehan ritual.
Kita juga dianjurkan untuk mendahulukan amalan yang mendesak
daripada amalan yang lebih longar waktunya. Misalnya, antara
menghilangkan najis di masjid yang bisa mengganggu jamaah
yang belakangan hadir, dengan melakukan shalat pada awal
waktunya. Atau antara menolong orang yang mengalami
kecelakaan dengan pergi mengerjakan shalat Jum'at. Pilihlah
menghilangkan najis dan menolong orang yang kecelakaan dengan
membawanya ke Rumah Sakit. Sebagai petugas kelurahan, mana
yang kita utamakan: shalat di awal waktu atau melayani rakyat
yang mengurus KTP terlebih dahulu?
Atau mana yang harus kita prioritaskan disaat keterbatasan air
dalam sebuah perjalanan: menggunakan air untuk memuaskan
rasa haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya,
yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan
batu atau debu. Begitu juga kewajiban berpuasa masih bisa di-
qadha atau dibayar dengan fidyah dalam kondisi secara medis
dokter melarang kita untuk berpuasa. “Fatwa” dokter harus kita
utamakan dalam situasi ini. Ini artinya shihatul abdan
muqaddamun ‘ala shihatil adyan. Sehatnya badan diutamakan
daripada sehatnya agama.
Dalam bahasa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah, di depan pasukan
Abrahah yang mengambil kambing dan untanya serta hendak
menyerang Ka’bah: “kembalikan ternakku, karena akulah
pemiliknya. Sementara soal Ka’bah, Allah pemiliknya dan Dia yang
akan menjaganya!” Sepintas terkesan hewan ternak didahulukan
daripada menjaga Ka’bah; atau dalam kasus tiket di atas seolah
urusan shalat ditunda gara-gara urusan pesawat; atau
keterangan medis diutamakan daripada kewajiban berpuasa.
Inilah fiqh prioritas!
Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk prioritas
pada amalan hati ketimbang amalan fisik. Beliau menulis:
“…kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan oleh
sebagian pemeluk agama, khususnya para dai' yang menganjurkan
amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-
perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah;
yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya;
misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan
memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak
tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika
shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk
luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan
ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi
prioritas dalam agama ini.”
Dengan tegas beliau menyatakan:
“Saya sendiri memperhatikan --dengan amat menyayangkan--
bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada
bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya --Saya
tidak berkata mereka semuanya-- mereka begitu mementingkan
hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting
dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada
kedua orangtua, silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara
hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada
orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk
Allah, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang jelas
diharamkan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT
kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya, di awal
surah al-Anfal, awal surah al-Mu'minun, akhir surah al-Furqan,
dan lain-lain.”
Kesalehan ritual itu ternyata bertingkat-tingkat. Kesalehan
sosial juga berlapis-lapis. Dan kita dianjurkan dapat memilah
mana yang kita harus prioritaskan sesuai dengan kondisi dan
kemampuan kita menjalankannya. Wa Allahu a’lam bi al-shawab
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan
Dosen Senior Monash Law School