Search This Blog

08 August 2016

Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial

Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial

KH. Ahmad Mustofa Bisri pernah mempopulerkan istilah saleh
ritual dan saleh sosial. Yang pertama merujuk pada ibadah yang
dilakukan dalam konteks memenuhi haqqullah dan hablum minallah
seperti shalat, puasa, haji dan ritual lainnya. Sementara itu,
istilah saleh sosial merujuk pada berbagai macam aktivitas dalam
rangka memenuhi haqul adami dan menjaga hablum minan nas.
Banyak yang saleh secara ritual, namun tidak saleh secara
sosial; begitupula sebaliknya.
Gus Mus tentu tidak bermaksud membenturkan kedua jenis
kesalehan ini, karena sesungguhnya Islam mengajarkan
keduanya. Bahkan lebih hebat lagi; dalam ritual sesungguhnya
juga ada aspek sosial. Misalnya shalat berjamaah, pembayaran
zakat, ataupun ibadah puasa, juga merangkum dimensi ritual
dan sosial sekaligus. Jadi, jelas bahwa yang terbaik itu adalah
kesalehan total, bukan salah satunya atau malah tidak dua-
duanya. Kalau tidak menjalankan keduanya, itu namanya
kesalahan, bukan kesalehan. Tapi jangan lupa, orang salah pun
masih bisa untuk menjadi orang saleh. Dan orang saleh bukan
berarti tidak punya kesalahan.
Pada saat yang sama, kita harus akui seringkali terjadi dilema
dalam memilih skala prioritas. Mana yang harus kita utamakan
antara ibadah atau amalan sosial. Pernah di Bandara seorang
kawan mengalami persoalan dengan tiketnya karena perubahan
jadual. Saya membantu prosesnya sehingga harus bolak balik
dari satu meja ke meja lainnya. Waktu maghrib hampir habis.
Kawan yang ketiga, yang dari tadi diam saja melihat kami
kerepotan, kemudian marah-marah karena kami belum
menunaikan shalat maghrib. Bahkan ia mengancam, “Saya tidak
akan mau terbang kalau saya tidak shalat dulu”.
Saya tenangkan dia, bahwa sehabis check in nanti kita masih
bisa shalat di dekat gate, akan tetapi kalau urusan check in
kawan kita ini terhambat maka kita terpaksa meninggalkan dia
di negeri asing ini dengan segala kerumitannya. Lagipula,
sebagai musafir kita diberi rukhsah untuk menjamak shalat
maghrib dan isya’ nantinya. Kita pun masih bisa shalat di atas
pesawat. Kawan tersebut tidak mau terima: baginya urusan
dengan Allah lebih utama ketimbang membantu urusan tiket
kawan yang lain. Saya harus membantu satu kawan soal
tiketnya dan pada saat yang bersamaan saya harus adu dalil
dengan kawan yang satu lagi. Tiba-tiba di depan saya dilema
antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial menjadi nyata.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi mencoba menjelaskan dilema ini dalam
bukunya Fiqh al-Awlawiyat. Beliau berpendapat kewajiban yang
berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih
diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak
individu. Beliau juga menekankan untuk prioritas terhadap
amalan yang langgeng (istiqamah) daripada amalan yang banyak
tapi terputus-putus. Lebih jauh beliau berpendapat:
“Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata
mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain
yang berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya. Ada seorang
ulama yang berkata, "Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas
toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas
aturan yang sangat ketat." Oleh sebab itu, ibadah haji
misalnya, yang hukumnya wajib, dan membayar utang yang
hukumnya juga wajib; maka yang harus didahulukan ialah
kewajiban membayar utang.” Ini artinya, untuk ulama kita ini,
dalam kondisi tertentu kita harus mendahulukan kesalehan sosial
daripada kesalehan ritual.
Kita juga dianjurkan untuk mendahulukan amalan yang mendesak
daripada amalan yang lebih longar waktunya. Misalnya, antara
menghilangkan najis di masjid yang bisa mengganggu jamaah
yang belakangan hadir, dengan melakukan shalat pada awal
waktunya. Atau antara menolong orang yang mengalami
kecelakaan dengan pergi mengerjakan shalat Jum'at. Pilihlah
menghilangkan najis dan menolong orang yang kecelakaan dengan
membawanya ke Rumah Sakit. Sebagai petugas kelurahan, mana
yang kita utamakan: shalat di awal waktu atau melayani rakyat
yang mengurus KTP terlebih dahulu?
Atau mana yang harus kita prioritaskan disaat keterbatasan air
dalam sebuah perjalanan: menggunakan air untuk memuaskan
rasa haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya,
yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan
batu atau debu. Begitu juga kewajiban berpuasa masih bisa di-
qadha atau dibayar dengan fidyah dalam kondisi secara medis
dokter melarang kita untuk berpuasa. “Fatwa” dokter harus kita
utamakan dalam situasi ini. Ini artinya shihatul abdan
muqaddamun ‘ala shihatil adyan. Sehatnya badan diutamakan
daripada sehatnya agama.
Dalam bahasa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah, di depan pasukan
Abrahah yang mengambil kambing dan untanya serta hendak
menyerang Ka’bah: “kembalikan ternakku, karena akulah
pemiliknya. Sementara soal Ka’bah, Allah pemiliknya dan Dia yang
akan menjaganya!” Sepintas terkesan hewan ternak didahulukan
daripada menjaga Ka’bah; atau dalam kasus tiket di atas seolah
urusan shalat ditunda gara-gara urusan pesawat; atau
keterangan medis diutamakan daripada kewajiban berpuasa.
Inilah fiqh prioritas!
Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk prioritas
pada amalan hati ketimbang amalan fisik. Beliau menulis:
“…kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan oleh
sebagian pemeluk agama, khususnya para dai' yang menganjurkan
amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-
perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah;
yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya;
misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan
memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak
tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika
shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk
luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan
ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi
prioritas dalam agama ini.”
Dengan tegas beliau menyatakan:
“Saya sendiri memperhatikan --dengan amat menyayangkan--
bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada
bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya --Saya
tidak berkata mereka semuanya-- mereka begitu mementingkan
hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting
dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada
kedua orangtua, silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara
hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada
orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk
Allah, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang jelas
diharamkan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT
kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya, di awal
surah al-Anfal, awal surah al-Mu'minun, akhir surah al-Furqan,
dan lain-lain.”
Kesalehan ritual itu ternyata bertingkat-tingkat. Kesalehan
sosial juga berlapis-lapis. Dan kita dianjurkan dapat memilah
mana yang kita harus prioritaskan sesuai dengan kondisi dan
kemampuan kita menjalankannya. Wa Allahu a’lam bi al-shawab
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan
Dosen Senior Monash Law School

No comments:

Post a Comment