Search This Blog

14 October 2017

Memang Tidak Diberi Judul

Suatu pagi, setelah sebentar mengucek mata sehabis bangun tidur aku buka jendela kamar agar angin sejuk dini hari menyegarkan hati yang layu.

Seakan seperti air wudlu membasuh tiap jengkal bagian tubuhku walaupun untuk menghadap-Nya masih belum seutuhnya aku. Masih ada banyak jengkal pikiran yang entah sedang bertamasya ke mana. Namun untuk berwudlu masih lebih dari kata cukup.

Sehabis berwudlu dan tetap melunaskan kewajibanku menghadap-Nya, ku niatkan menyegarkan pikiran dengan menyeduh secangkir kopi pahit disertai asap dari rokok kretek ku.

Sedang asik-masyuk menikmati kopi dan kretek tetiba di kagetkan oleh suara seorang tua yang kelihatannya bukan orang sekitar sini. Setertutupnya aku, minimal masih mengetahui siapa-siapa tetanggaku. Orang tua yang terlihat masih gagah dan gurat tampan, terlihat samar dipadu dengan guratan proses hidup yang pastinya berat. Aroma wewangian bunga kasturi semerbak merasuk halus ke dalam rongga hidung meluncur dengan kecepatan tinggi ke otak.

Lelaki tua yang sungguh sangat sopan. Walaupun dengan anak muda sepertiku, lelaki itu tetap tanpa tatapan tinggi walaupun aku sangat merasa kalau beliau sungguh sangat berpengalaman dalam hal menyelesaikan masalah pelik di seputar hidupnya.

Lelaki itu uluk salam yang langsung kujawab dengan salam juga. Lelaki itu bilang mau ikut ngobrol menikmati pagi hari bersamaku. Kalau berkenan boleh dibuatkan kopi hitam pahit dan meminta kretekku.
Dengan tanpa terpaksa aku buatkan kopi hitam dari sisa air panas buatanku tadi dan secepatnya membuka bungkus rokok kretek dan memberikan kepada beliau. Ingin sekali saya menyalakan korek namun dengan sopan beliau bilang akan menyalakan kreteknya sendiri.

Dengan situasi seperti ini di pagi hari sekira 10 menitan kami masih saling diam dengan menikmati selongsong kretek dan mencecap secangkir kopi pahit panas. Namun dengan 10 menit itu aku sudah merasakan sebuah keadaan dimana saat itu sungguh membuatku terlarut, sunyi yang tenang dalam hati. Menghentikan kecamuk dalam hati dan pikiran menjadi sebuah kepasrahan tingkat tinggi.

Setengah batang kretek sudah ternikmati dengan asap disekitar kami beradu antara hisapanku dan hisapannya masih bergelak, lelaki itu cuma mengucapkan sedikit kalimat yang nisbi dapat aku lupa.

Dia mengatakan :"setiap permasalahan tidak untuk ditinggalkan ngger, namun dihadapi. Salah dan benar itu hasil dari proses perjalananmu dengan semua hal yang sudah Gusti Allah beri. Masa lalu bukan untuk kau sesali ngger, itu pijakanmu untuk melangkah di masa depan. Setiap manusia sudah memilih di masa lalunya dan menghadapi masa depannya".

Disambung dengan mematikan kretek yang ternyata sudah mendekati senjanya, lelaki itu menghabiskan kopi hitam yang sepertinya masih panas itu dengan sekali tegukan. Setelah itu mohon pamit dengan sebelumnya bersalaman dan mengusap kepalaku dengan lembut. Saya tidak menjawab sepatah katapun kecuali salam dari lelaki itu.

Aku masih berdiri diam sampai tidak sadar kalau lelaki itu tiba-tiba tidak terlihat lagi. Bertepatan dengan munculnya mentari pagi menandakan kalau hari ini akan menjadi sebuah awal perubahan jalan fikir dariku.

Aku duduk, meresapi tiap gerak dan laku lelaki tua itu. Betapa anggun walaupun masih saja fikiranku belum menemukan siapa ia dan darimana ia berasal.

Aku duduk di kursiku sambil mencoba menghidupkan kretekku sekali lagi. Tapi karena fikiranku masih terpusat kepada lelaki itu tanpa sadar yang aku korek adalah jari tanganku. Sehingga panas menjalar cepat ke jari dan disaat yang sama aku bangun dari tidurku. Jariku kecepit pinggiran tempat tidur sehingga sakit terasa.

Ternyata itu adalah mimpi. Mimpi yang bisa jadi merupakan jawaban dari setiap keresahan diri yang kusampaikan ke Gusti Allah atau memang Gusti sedang bercanda dengan makhluknya karena Maha Cinta-Nya kepada makhluknya. Apalagi saat itu aku bangun kesiangan dan belum sempat shalat subuh.

No comments:

Post a Comment