Search This Blog

04 February 2018

Perluasan dan Penyempitan Makna Identitas Diri



Sekarang ini identitas diri menjadi sebuah konsumsi publik. Semakin berkurang rasa memiliki sebuah identitas diri yang mandiri. Yang berbeda dari orang lain. Yg khusus dimilikinya. Identitas seseorang di generalisasi sesuai pilihan politiknya, sesuai agamanya, sesuai pilihan makanan atau minuman misalnya.

Hal ini membuat seseorang tidak dapat mengelak dari pandangan "seharusnya" dari orang lain. Yang meletakkan pandangan tersebut dari sebatas pengamatan yang sebetulnya juga kurang tepat. Bisa jadi orang Batak atau Madura dinilai berintonasi keras dalam berbicara, padahal orang Batak atau Madura masih banyak yang berbicara halus. Penilaian ini besar kemungkinan di dasarkan atas klaim sepihak atas pengetahuan sang penilai pada beberapa orang Batak atau Madura yang ditemuinya, yang kebetulan juga berintonasi keras dalam berbicara.

Hal ini menjadi masalah pelik apabila sudah masuk dalam ranah yang lebih privat, atau masalah sensitif. Agama misalnya.

Setiap agama pastinya mengajarkan kebaikan, kebajikan dan saling menghormati antar sesama pemeluk agama lain. Namun tidak dapat dipungkiri di setiap agama mempunyai pemeluk yang katakanlah ekstrim dalam memahami kebenaran agamanya.

Bisa jadi orang Islam merasa bahwa pemeluk agama lain adalah salah dan tersesat, begitupun rang Kristen yang mengganpa bahwa agamanya adalah agama palung benar sesuai Tuhan. Tidak menjadi masalah apabila kepercayaan tersebut digunakan untuk dirinya sendiri tanpa harus menyampaikan dan berkoar-koar di kahalayak ramai. Menjadi masalah apabila hal tersebut di sampaikan di khalayak ramai dan beranggapan bahwa kepercayaan dirinya merupakan kebenaran mutlak. Bahwa yang selain apa yang menjadi pendirian dia adalah salah besar, adalah sesat. Bahaya.

Hal ini akan membuat secara langsung maupun tidak langsung mencederai akal sehat kita. Kita bisa sangat tidak percaya apabila ada teman diluar agama kita mengingatkan perihal waktu ibadah, atau membantu temannya yang kebetulan berbeda keyakinan. Bisa membuat saling tidak percaya dan saling curiga pada hal yang tidak mendasar. Antar pemeluk agama saling tidak percaya atas kebaikan-kebaikan yang dilakukan. Bibir tersenyum, namun hati buruk sangka.

Ambil contoh lagi, karyawan Perusahaan milik Amerika yang kebetulan beragama Islam tidak serta merta mereka ikut merusak Agama Islam dari dalam. Yang ikut membantu memperbesar perusaan tersebut untuk merusak Islam. Tidak sesederhana itu bro, tidak. Mereka bekerja disana sesuai kemampuan dan minat, bukan di rekrut hanya untuk dicari informasi "orang dalam" agar lebih mudah merusak Islam dari dalam.

Ada pula orang yang bekerja di sebuah perusahaan Islami, namun pandangan keIslaman yamg nisbi berbeda dari yang dipedomani perusasan tersebut. Apakah orang tersebut sudah merusak atau mencedarai perusaahn tersebut? Atau medusak Islam? Big NO. Bisa jadi orang tersebut bekerja karena kemampuan dan skill nya di perlukan oleh perusahaan dan disana dia tidak di hubungkan dengan pandang perusahaan secara keseluruhan. Orang tersebut berbeda pandangan dan pemahaman, namun dalam lingkup keibadahan, saling ada kepercayaan dan kebebasan dalam menjalankannya. Yang terpenting pemahaman itu untuk dirinya.

Hal ini yang menurutku sudah bergeser menjadi penyempitan makna. Bahwa apabila ada seorang pemeluk agama yang berbuat salah maka agamanyalah yang juga salah. Apabila ada teroris yang kebetulan beragama maka agamanyalah yang salah, yang ikut menyebarkan kekerasan. Oh No, jangan sesempit itu pemikiranmu kawan. Bahwa diluar sana masih ada orang yang berderma kepada sesama tanpa melihat agama apa yamg diyakininya. Mereka bergerak atas nama Manusia dan Kemanusiaan.

No comments:

Post a Comment