Search This Blog

04 July 2017

Melatih kepekaan rasa dari Perilaku Bid'ah di Hari Lebaran

Sebenarnya saya pengen nulis tentang "Warisan", berhubung saya sedang mendapat jatah (lebih tepatnya) memilih berlebaran di Banyuwangi. Kota yang oleh Pemkab Banyuwangi disebut juga "Sunrise Of Java" karena letaknya di ujung timur propinsi Jawa Timur dan otomatis paling timur Pulau Jawa, ya iyalah. Kota ini juga sudah mulai dikenal dengan sebutan lainnya, yang jauh dari sebutan laiknya kota lain di Indonesia, Kotanya Afi Nihaya Faradisa. Cieee. Tapi saat melihat Artikel di Mojok.co tentang "Warisan" la kok sudah diberi Catatan Redaksi. Ternyata sudah ada 2 tulisan sebelum itu yang sudah di muat. Ternyata Mojok.co bisa juga ngasih SP3.
Saya berlebaran di kota ini bukan karena saya berasal dari Banyuwangi, tapi nasib asmara lah yang membuatku kesini, karena saya berasal dari sebuah Kota Ibukota propinsi di Jawa Tengah. Inisial kotanya SMG, gak penting banget.
Di Banyuwangi ini, kalau dari tempat Afi mendapatkan "Warisannya" cuma sepelemparan batu saja. Batunya habis dilempar, diambil, dilempar lagi, diambil lagi, dilempar lagi  sampai Warisannya Afi habis. Puelosook nian.
Lebaran disini, di kampung istri sangatlah berbeda dengan Lebaran di Kampung Halaman berinisial SMG tadi. Disini yang dibahas Warisannya Afi, gak ding.
Kita bahas Lebaran ajah.
Disini, Di Indonesia, kebanyakan Orang Islam di akhir bulan Ramadhan mulai berduyun-duyun pulang kembali ke daerah asal. Istilah kerennya Mudik (Menuju Udik). Mereka (termasuk saya) bekerja maupun berkarya di daerah atau kota lain.
Yang bisa jadi, biaya pulang-pergi ke daerah asal menghabiskan sepenuh gaji bulanan. Tanpa potongan, tanpa pengeluaran rutin, tanpa embel-embel penyusutan, hanya digunakan untuk biaya Mudik Pulang Pergi. Bahkan ada yang habis digunakan untuk pulangnya saja. Untuk biaya pergi kembali ke daerah atau kota dimana kita bekerja sudah mengumpulkan dari setelah Lebaran tahun sebelumnya.
Itupun belum untuk beli oleh-oleh, makanan kecil, ataupun sedikit sangu untuk anak-anak yang bersilaturrahmi ke rumah kita di Udik, di desa.
Sudah kebayang? Kira-kira berapa duit dipakai untuk kegiatan Bid'ah yang sia-sia ini? Kegiatan yang Rasul Muhammad tidak pernah melakukannya. Gimana mau melakukan, wong ya Rasul Muhammad gak kemana-mana. Rasul Muhammad bermukim di Mekah. Sempat Hijrah ke Madinah namun kembali lagi ke Yatsrib (Mekah). Sampai sekarang pun di Arab Saudi, dimana Mekah dan Madinah berada tidak pernah ada kegiatan Bid'ah sia-sia ini. Disana Zonder Mudik. Karena disana tidak ada Desa. Disana kota semua, kaya semua. Ini katanya lo ya. La wong saya belum pernah jadi TKI disana. Apalagi Haji atau Umroh yang biaya dan daftar tunggunya bikin ngelus dada Chelsea Islan.
Gak perlu ada namanya Desa. Sudah gitu Mudik kegiatan Bid'ah lagi. Tahu kan kalau Arab Saudi paling gak demen sama hal berbau Bid'ah? Bisa jadi orang sana bilang kalau Mudik itu Kegiatan yang sudah Bid'ah, Mubadzir lagi. NERAKA KUADRAT.
Uang hasil kerja keras selama setahun penuh, tabungan disiapkan dengan berdarah-darah, dipakai untuk biaya pulang, beli oleh-oleh dan beli makanan kecil sama orang yang keluarga aja bukan, kadang-kadang sudah diingat-ingatpun masih lupa. Ketemu aja jarang, apalagi sempat ngeshare Artikel Dakwah Sunnah di grup wasap. Kemungkinannya hampir mustahil.
Sudah demikian gilanya, seringkali malah ngasih uang saku lagi. Gila gak? Tambah gila kalau saya tanya ke Istri, itu anaknya siapa? Istri komat-kamit sambil ngomongin silsilah yang apabila dituliskan bisa sampai ke rumahnya Afi sono.
Lalu kenapa, kok ritual Bid'ah ini begitu sangat digemari, sampai orang-orang rela menuju ke Udik? Sampai dibela-belain Demo Berjilid-jilid, eh. Nabung, ngirit-ngirit pengeluaran demi apa coba? Kalau demi Cintanya Chelsea Islan sih gpp (Daripada jadian sama Bastian to), tapi ini demi bersusah payah, berpeluh keringat, berdesak-desakan, antri mengular untuk segera sampai ke Udik. Tiket segitu banyaknya habis. Bid'ah apa lagi ini, sampai dilakukan sedemikian masif dan berjamaah.
Biarpun dikata Bid'ah tapi mereka termasuk saya gak ngurus bila Mudik mau dikata Bid'ah ataupun pekerjaan yang sia-sia. Tahu gak kalau di Mudik itu kita bisa merasakan kangen luar biasa untuk kembali. Kembali kepada asal dimana kita berasal, dimana kita lahir.
Di kampung halaman kita bisa berziarah kepada sesepuh yang sudah meninggal, sungkem kepada orang tua yang sudah bersusah payah merawat, menyayangi dan mengasihi sepenuh hati. Merajut tali silaturrahmi yang terkoyak oleh Pilkada. Hmm...
Ambil contoh disini, kampung halaman istri ini termasuk daerah terpencil (cuma sepelemparan batu kok). Penduduknya mayoritas petani. Baik petani padi atau buah, yang untuk mikir besok mau makan enak saja sudah seperti tim sukses Mumetnya, boro-boro mikir calon Gubernur yang kalau dipilih kita bisa masuk neraka.
Yang terpenting disini adalah Saudara bisa saling SAMBANG walaupun di jalan pun sepulang Shalat Ied sudah ketemu. Ngobrol ngalor ngidul tentang kehidupan dan asmara, haist, tentang keluarga. Saling tanya kabar kehidupan setahun lalu, tanya keponakan-keponakan yang Lebaran tahun ini nongol. Saling memberi kabar saudara maupun teman yang sedang terlilit susah. Sudah gitu la kok gantian sambang ke rumahnya, kadang di hari yang sama pulak. Terus apa yang dibicarakan? Masih ada yang kurang? Apa amplopnya mau diambil lagi?
Bagi masyarakat disini yang terpencil ini, hiks. Bukanlah Pilihan Calon Bupati, Calon Gubernur atau Calon Presiden yang bisa membawa kita masuk surga. Tapi Seseorang yang masih ingat bahwa masih banyak Saudara kita yang kangen kabar kita, tahu bahwa kita masih ingat mereka. Terlepas apa pilihan Warna Sandal Jepit saat Shalat Ied.

TAKBIIR

Artikel tidak laik muat di Mojok.co
Hahaha

No comments:

Post a Comment