Search This Blog

23 July 2017

Ketika Sebuah Nilai Mengalahkan Nominal

Saat ini hal-hal yang dilakukan di dunia sudah didasarkan atas sebuah untung rugi. Apa yang kita keluarkan haruslah lebih kecil dari apa yang kita harapkan, alias ada keuntungan yang didapatkan.

Semisal, kita menjual sesuatu perhitungannya adalah nilai yang kita dapatkan haruslah lebih besar dari total biaya yang sudah kita keluarkan. Apakah nilainya sangat besar ataukah wajar itu bukan pokok utama. Yang terpenting adalah kita mendapat nilai keuntungan dari sana.

Ada lagi perhitungan untung rugi yang dipakai bukan saat perniagaan, tapi sedikit mirip.

Setiap perusahaan terkadang (mungkin sekarang sudah banyak) menyisikan sedikit keuntungan dari operasionalnya untuk dipakai sebagai dana CSR. Klean tahu kan? Google_ing.

Dana tersebut sejatinya adalah sebuah dana yang disisihkan perusahaan untuk membantu lingkungan dimana perusahaan tersebut berdiri. Bisa membantu perbaikan jalan, jembatan, kegiatan sosial masyarakat atau memperbaiki jalinan asmaramu yang sudah terkoyak (yoi coiy).

Dengan dasar itu, karena dana CSR dipakai untuk kegiatan sosial tanpa embel-embel ekonomis maka seklatennya (belon sampai yogya) tidak dipakai untuk kepentingan perusahaan walaupun itu dikata sangat minim. Kenapa? Karena kembali lagi bahwa itu merupakan dana CSR. Dana yang harusnya untuk sosial aja. Tinggal kasih aja. Ndak usah selpi2 dan woro-woro lewat media massa.

Apalagi sampai memilih Jonru jadi Brand Ambassador (emang ada ya?).

Cuma bisa jadi karena masalah perKORUPSIan kita yang sudah merajalela dan membudaya, sekiranya menjadi sah saja hal seperti itu. Biar Stake Holder (bukan Breast Holder) paham dan tahu bahwa dana CSR terpakai untuk apa, kepakainya bukan diambil di buat bancakan, tapi kerna memang kepakai. Dan juga yang tak kalah penting dan menjadi sangat penting saat ini, membuktikan bahwa Perusahan tersebut ADA dan sangat PERHATIAN terhadap masyarakat sekitarnya. Ini adalah Ilmu Dasar Marketing yang saya dapatkan dari Seminar Luar Biasa Jonru yang membludak pesertanya. Rencana maksimal sampai 8 orang namun karena animo peserta yang sangat luar biasa mengharuskan Panitia Pelaksana menambah peserta menjadi 10 orang. Luar Binasa Biasaaa.

Saya pribadi kurang sreg aja atas penomena ini. Kalau untuk sosial yang sosial aja. Ndak usah pake selpi atau poto-poto segala. Apalagi itu bisa dianggap ngiklan geratis. Lak yo Kampret to. Sudah, Hayati lelah bang... Lelah...

Namun apakah hanya itu yang selalu terjadi saat ini? Ndak juga. Saya mengetahui sendiri dengan seluruh jiwa dan raga yang terkandung di badan ini.

Gini....

Waktu itu, saat saya mo kembali ke tanah rantau dari tanah leluhurku, saya sempatkan bersilaturrahmi ke Simbahku di Blora dan juga mau ngasih kado buat ponakan baru. Mampirlah ke sodara-sodara dari Ibu. Tak tahunya dirumah sodara yang baru lahiran itu mo ada Aqiqah besoknya. Tapi kerna sudah mepet hari masuk kerja ya kami mohon maaf apabila ndak bisa ikut.
Yang membuat saya tercetar tercengang, ada Budhe yang domisili di Brebes jauh-jauh ber tut tut tut kesono. Mau ngapain coba? Cuma mo ikut acara Aqiqahan cucu dari Sodaranya. Oh My Globe...

Acara yang normalnya dilakukan kerna bersyukur atas kelahiran sang jabang bayi dengan shalawatan, berdzikir dll itu kan cuma sebentar. Memang proses sebelumnya yang agak panjang dan njlimet. Kan kudu nyiapin jajanan dan makan buat yang datang. Tapi ya itu, gak nyucuk (apple to apple) kalau menghitung seperti dasar Ilmu Ekonomi dari Mas Jonru. Biaya yang dikeluarkan juauuuh lebih besar dibanding yang didapat. La ya, paling cuma dapat jajanan sama makan sepiring. Gak kira dikasih sangu baliknya. Apalagi tiket pesawat pulang pergi. Rugi bandar kan?

Tapi apa itu yang diharapkan? Sama sekali bukan. Budhe hanya menjawab saat kutanya "silaturrahmi iku penting le, ojok diukur karo materi. Materi iku mesti entek, ning nek paseduluran iku sampek kiamat -- Silaturrahmi itu penting nak, jangan diukur hanya materi saja. Materi itu pasti habis, tapinkalau persaudaraan itu sampai kiamat kelak". Hampir saja saya jatuh tersungkur dan ingin sujud syukur saat itu. Tapi kerna saya masih anak muda yang sok gaul maka ndak usah kek gitu tapi kata-kata itu nancap di hati.
Persetan dengan para elite politik yang busuk dan berbusa mulutnya saat berbicara norma dan dogma. Saya masih punya sodara yang membumi saat berbicara tentang cinta.

Sudah? Masih ada.
Ini kejadian masih anget. Seanget mendoanku malam ini, tapi tak sehangat tai ayam.

Pagi tadi saya menghadiri undangan teman sekantor yang menikah (semoga Sakinah Mawaddah Wa Rahmah). Kalau saya sih 10 menit nyampai gedung resepsi. Nah, yang menjadi keheranan saya, teman yang dulu sekantor namun sekarang endak (ada yang resign, atau pindah ke kota lain) menyempatkan diri hadir.

Mereka jauh-jauh berkendara minim 3 jam hanya untuk menghadiri acara tersebut, gak sampai sejam mungkin. Dan balik lagi berkendara 3 jam. Untuk apa? Untuk menikmati hidangan? Untumu kuwi.

Mereka menghargai si mempelai yang sudah mengundangnya dengan berkorban waktu, tenaga dan biaya. Tidak ada raut muka terpaksa, tertekan atau sungkan kalau ndak datang. Mereka datang dengan ikhlas.

Ya Allah, ternyata masih banyak makhlukmu di dunia ini yang masih menjaga akhlak Baginda Rasul Muhammad, JAGALAH SILATURRAHMI.

No comments:

Post a Comment