Search This Blog

17 May 2016

Penerapan Hukum Islam Di Jalan Raya

Oleh : Nadirsyah Hosen

Dalam hukum Islam, negara diberi wewenang untuk mengeluarkan
aturan dan regulasi meski tidak ada dalil khusus dan spesifik dari
Qur'an dan Sunnah. Ini yang disebut dengan siyasah syar'iyah.
Syekh Abdurrahman Taj mendefinisikan siyasah syar'iyah sebagai
berikut:
"hukum, kebijakan atau peraturan yang berfungsi mengorganisir
perangkat kepentingan negara dan mengatur urusan umat, yang
sejalan dengan jiwa syariah, sesuai dengan dasar-dasarnya yang
universal (kulliy) serta (dapat) merealisasikan tujuan-tujuannya yang
bersifat kemasyarakatan, sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh nash-
nash tafshili yang juz’i dalam Al-Qur’an dan sunnah”.
Taj kemudian membedakan antara siyasah syar’iyah dengan siyasah
wadh’iyah. Yang pertama ialah segala hukum, peraturan atau
perundang-undangan untuk mengatur persoalan umat yang bersumber
atau bertumpu pada dasar-dasar agama Islam, guna menciptakan
kemaslahatan serta menghindarkan kemafsadatan.
Sedangkan yang kedua adalah segala peraturan atau perundang-undan
gan yang dibuat oleh manusia untuk mengatur persoalan umat, di
mana peraturan dan perundang-undangan tersebut bersumber dari
atau bertumpu pada ‘urf (adat kebiasaan), pengalaman, pandangan
para pakar dan sebagainya tanpa ada pertalian dengan wahyu atau
sumber hukum Islam. [Baca lebih lanjut di buku Abdurrahman Taj, as-
Siyasah asy-Syar’iyah wa al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar at-Ta’lif, 1953]
Oleh karena itu, selama peraturan perundang-undangan itu dikeluarkan
melalui mekanisme yang baku dan untuk kemaslahatan kita semua
maka kita wajib menaatinya, baik peraturan itu dikeluarkan oleh
pemimpin kafir atau pemimpin Muslim; baik ada atau tiada dalilnya;
baik sumbernya dari nash atau adat setempat, atau kebutuhan
masyarakat. Semuanya dianggap sah dan islami.
Contoh praktis: kita tidak bisa menolak aturan lalu lintas menyetir di
sebelah kiri dengan alasan tidak ada dalilnya dari Qur'an dan Sunnah
yang mewajibkan kita menyetir di sebelah kiri jalan. Atau tidak ada
aturan dari Nabi soal lampu lalu lintas. Meski aturan lalu lintas ini
dikeluarkan oleh pemimpin yang anda anggap kafir sekalipun, anda
harus taat. Kalau tidak taat maka akan terjadi kekacauan yang
berakibat kecelakaan fatal.
Di bawah ini saya share tulisan ciamik dari Kiai Afifuddin Muhajir dari
Pesantren Asembagus Situbondo, yang mengambil contoh kasus
lampu merah untuk menjelaskan kaitan antara ushul al-fiqh, fiqh dan
siyasah.
Monggo disimak dan sama-sama kita ngaji dengan Kiai yang tidak
hanya alim tapi juga ahli ibadah ini. Inilah jalan pikiran para Kiai
pesantren: luwas dan luwes tapi tetap taat aturan.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan dosen
senior Monash Law School
KH. Afifuddin Muhajir: LAMPU MERAH SEBAGAI ILLAT
Telah terjadi sedikit cekcok antara seorang pengemudi dan serang
polisi lalu lintas di pinggir jalan raya . Cekcok itu bermula dari perilaku
pengemudi yang terus melajukan kendaraannya padahal telah melihat
lampu merah sedang menyala sebagai tanda bahwa semua kendaraan
harus berhenti. Dia berdalih bahwa kondisi saat itu sangat sepi karena
memang sudah larut malam, sehingga kekhawatiran terjadinya
kecelakaan sebgai hikmah di balik isyarah lampu merah tidak mungkin
terjadi.
Sementara pihak polisi tidak mau peduli dengan dalih yang
dikemukakan pengemudi. Ia kokoh berpegang teguh pada apa yang
tersurat secara jelas di dalam peraturan lalu lintas yang mewajibkan
semua kendaraan berhenti ketika melihat lampu merah di arah
tujuannya sedang menyala, baik dalam kondisi ramai maupun sepi.
Membaca peristiwa ini mengingatkan pikiran kita akan perbincangan di
kalangan ulama ushul fiqh tentang hubungan antara teks syari'at
( ﻧﺼﻮﺹ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ) dan tujuan syari'at ( ﻣﻘﺎﺻﺪ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ).
Di kalangan ulama ushul ada sedikit perbedaan pendapat tentang apa
yg seharusnya menjadi acuan hukum ( ﻣﻨﺎﻁ ﺍﻟﺤﻜﻢ ).
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa hukum harus dikaitkan dengan
illat yg memenuhi syarat-syarat tertentu. Yaitu berupa sifat yang
dhahir, kongkrit dan terukur, seperti lampu merah tadi. Sebagian ulama
yang lain mengatakan bahwa hukum bisa dikaitkan dengan hikmah
yang sering kali tidak memenuhi syarat-syarat illat tersebut, seperti
terjadinya kecelakaan.
Menurut kelompok pertama yang mayoritas, musafir yang menempuh
jarak tertentu boleh meng-qashar shalatnya meski dalam perjalanannya
sama sekali tidak mendapatkan rasa payah, letih dan lelah. Sebaliknya,
musafir yang tidak menempuh masafatal qashri tidak boleh meng-
qashar shalat meski mengalami rasa lelah dan letih yang luar biasa.
Dalam konteks aturan lalu lintas, perbedaan dua madzhab tersebut
harus dikesampingkan, karena negara telah memilih madzhab yg
pertama, sehingga berlaku kaidah: ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻳﺮﻓﻊ ﺍﻟﺨﻼﻑ (keputusan
negara menghapus perbedaan yg ada).

No comments:

Post a Comment