Search This Blog

04 June 2016

Jakarta

Warga Negara Indonesia mana yang tidak tahu Jakarta? Mungkin hanya sekitar 5-10% dari keseluruhan penduduknya yang sudah seabrek ini.

Jakarta merupakan salah satu dari 3 kota yang mendapat predikat khusus dari NKRI selain DIY (Yogyakarta) dan NAD (Aceh). Hal unik disini sebenarnya jakarta bukanlah "kota". Kenapa saya katakan bukan kota? Coba cari di peta untuk kota dengan sebenar-benarnya kota. Nanti yang ditemui adalah Provinsi Jakarta. Kalau Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara ada di peta. Jadi bukan Kota kan? La, terus aku kudu bilang apa enaknya. Bilang kota aja ya. Nulis provinsi agak kaku tanganku.

Kemarin sempat baca artikel di mojok.co terkait kota Surabaya. Yang mafhum di kita adalah Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia. Nomor 1 siapa? Siapa lagi kalau bukan Jakarta.

Padahal sudah saya singgung di awal kalau Jakarta bukanlah kota, la wong di pimpin oleh Gubernur. Kalau Surabaya itu baru kota. Betul? Aku sih Yes, gak tahu kalau mas Dhani.

Disini saya tidak akan membahas polemik kota terbesar di Indonesia. Ngapain coba. Aku tidak tinggal disini, aku tidak kerja disini, aku juga gak lahir disini. Ngapain coba?

Aku cuma mau nyeritain tentang Jakarta dan sedikit Surabaya. Kenapa? Karena di 2 kota ini aku ngrasain tingginya semangat bekerja. Widiiih.
Mereka berangkat pagi pulang malam. Bermacet-macet ria. Aku aja berangkat kerja cuma 10 menit sebelum jam kerja mulai. Gimana gak jancuk coba?

Alkisah aku ditugaskan mengikuti pelatihan di surabaya. Gak lama sih, cuma 4 hari sudah dengan perjalanan. Disana aku merasakan sumpeknya macet, (seakan-akan) sumpeknya jalan. Aku gak tahu, aku yang ndeso atau emang aku yang gak biasa ngerti kemacetan kayak gini. Aku memang lahir di salah satu ibu kota propinsi di jawa, tapi kok ya masih gerah lihat macet ya. Oh, my dog.

3 hari disana, aku keluar malem cuma sekali. Itupun nyari kopi item kesukaan. Kopi hotel membuat perutku sebah. sory, perut ndeso. Makan elit dikit masuk angin. Repot.
Keluar sekali rasanya wuiiihh, masih ngerasa sumpek. Padahal nyopir enggak, tapi masih ngerasa sumpek. Repot.

Bentar, bentar. Ini bukan sedikit mah. Sudah bahas banyak. Udahan ya, gantian Jakarta sekarang.

Jakarta.
Jakarta.
Jakarta. Ah, menyebut kota ini aku minder. Minder sama para pelaku-pelaku ekonomi disini. Kota yang diGubernuri (gak usah nanya Kenapa kota kok Gubernur) sama Koh Ahok ini menggeliat setiap detik dimanapun sudut kotanya. Mereka bekerja siang dan malam mengarungi jalanan untuk segera sampai di kantor masing-masing tanpa kena macet berkelanjutan. Sampai kantor masih pagi, terus ngapain disana pagi-pagi? Banyak pilihan. Bisa iktikaf, shalat sunnah, membaca, ngaji, atau tidur lagi (ini pilihanku).

Nyambung lagi terkait Surabaya (sory, nambah lagi) aku ditugaskan lagi untuk pelatihan di Jakarta selang seminggu setelah dari Surabaya. Suer, masih tetep aja macetnya. Walaupun Koh Ahok mau mengurai kemacetan dengan berbagai macam cara. Bukan aku gak ngehargai Koh Ahok, tapi aku malah salut dengan Jakarta. Sudah diusahakan dikurangi tapi yo masih panjang macetnya.

Jakarta, bagiku kau tetap Kota Metropolitan terbesar di Indonesia. Kota dimana aku ikut sesaknya macet disepanjang jalan. Oh..

Pagi hari saat aku bangun untuk cuci muka, bikin kopi, nyulut kretek, lah orang Jakarta sudah menyesaki jalanan Ibukota. Mereka sudah berangkat kerja, aku tak tahu pastinya jam berapa mereka bangun, mandi, gosok gigi, sarapan kalau sempat lalu berangkat. Eddiiaan. Padahal pulangnya pun malam, itu masih dihiasi macet. Alamaak.

Untuk para warga Jakarta atau yang bekerja di Jakarta, aku salut atas perjuangan dan keuletan kalian terhadap suasana ini. Kalau aku sudah masuk ruang Psikolog.

No comments:

Post a Comment